Ilustrasi artikel. (Dok. Istimewa) |
Trailer film The Santri yang dirilis pada tanggal 9 September 2019 menuai tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat, baik awam, tokoh publik, pejabat pemerintahan, politikus, dan lainnya.
Dari beragam tanggapan tersebut ada yang bersifat pro dan juga ada yang kontra, membuat keberadaan film yang diinisiasi oleh salah satu organisasi Islam bekerjasama dengan sutradara yang punya akses pemasaran ke Amerika Serikat ini menuai kontroversi.
Kontroversialnya film ini dipicu karena ada beberapa adegan yang dianggap tidak sesuai dengan penerapan sistim yang diberlakukan pada pondok pesantren, sementara pada pihak yang pro pada keberadaan film ini mengatakan film ini lebih menonjolkan nilai toleransi demi mendukung inisiatif pemuda regional dan global.
Untuk mendalami polemik yang terjadi pada dua perspektif yang berbeda pada film ini, kita dapat melakukannya dengan mengembalikan ingatan pada zaman kejayaan Islam dari abad 750 – 1258 M silam. Dimana pada masa itu Islam menguasai sains, ekonomi, dan kebudayaan.
Merujuk pada kebudayaan, akan kita jumpai salah salah satu produknya, kesenian. Produk kesenian tersebut bisa berupa seni musik, seni peran, sastra, grafis, dan lainnya.
Seni peran semakin berkembang dari masa ke masa, saat ini produknya bisa berupa film, sinetron, dan lainnya. Untuk film disajikan pada masyarakat melalui bioskop, televisi, youtube, dan media aplikatif lainnya. Namun perbedaan dengan zaman sekarang, pada zaman kejayaan Islam itu produk kebudayaan dikuasai oleh para kreator seni Islam, sehingga dapat menjadikannya sebagai salah satu media syiar dalam menyampaikan syariat Islam ke seluruh dunia.
Sebelum mempolemikkan film The Santri, kita harus mengetahui dulu siapa penggarap film ini, apakah seorang yang beragama Islam, apakah kreator seni Islam, apakah orang yang mengerti tentang seluk beluk dunia pesantren, dan untuk siapa film itu diproduksi?
Meskipun film tersebut bertajuk The Santri mungkin saja hanya mengangkat salah satu pondok pesantren yang satu pemahaman islamnya dengan penggarap filmnya. Karena belum tentu film tersebut mewakili sistem pondok pesantren secara umum.
Film adalah produk kebudayaan yang memuat pesan-pesan tertentu dari tujuan pembuat film tersebut. Dan yang tahu tujuan film tersebut dibuat tentu adalah pembuat film itu sendiri. Ketika film tersebut dihadirkan di tengah masyarakat pasti akan menuai beragam interprestasi. Kita tahu, film The Santri diinisiasi oleh sebuah organisasi islam, bukanlah oleh kesepakatan dari seluruh organisasi Islam. Dan wajarkan saja bila mengusung pesan yang diinginkannya.
Jika tidak sejalan dengan pemahaman Islam yang ada pada film The Santri, menghujat bukanlah perilaku yang baik, karena dilarang oleh ajaran Islam. Karena tindakan ini bisa saja jadi pemicu perpecahan dalam konteks hidup bernegara. Untuk mengkritiknya lakukanlah dengan cara cerdas, berintelektual, dan beretika. Untuk membentengi umat Islam dari hal yang dianggap kontroversial pada film The Santri, lakukanlah dengan cara yang sama. Lagu dibalas dengan lagu, film dibalas dengan film.
Bagi yang sudah punya pondasi kuat dalam akidah Islam, menonton film The Santri bisa jadi bahan studi dan analisis tentang pemahaman Islam yang ingin diterapkan dalam hidup bernegara, untuk bahan membagun strategi dalam upaya menyelamatkan generasimuda Islam. Bagi yang was-was dengan hadirnya film The Santri, berilah perlindungan pada anak-anaknya, keluarganya, dan kerabat yang belum punya bekal cukup dalam memahami Islam.
Film The Santri bisa saja mengangkat satu sampel fakta, karena produk seni memang harus jujur dan murni dalam mengekspresikan karya.
Mengingat zaman keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi telekomunikasi pada saat ini membuat umat Islam semakin kritis dalam menerima sajian hiburan. Mereka sangat menginginkan hiburan halal yang lebih sesuai dengan pemahaman Islam yang sudah mereka punya. Sejatinya, mereka menunggu para kreator seni muslim untuk memberikan konten-konten halal pada sajian hiburan yang mereka inginkan. Jika tidak kita mulai dari sekarang untuk menguasai dunia perfilm dunia agar dapat menjadi katalisator kebudayaan bagi dunia, mustahil zaman kejayaan Islam itu akan dapat kita kembalikan. (*)
Leave a Reply