IslamicTunesNews | ANTARA DAKWAH DAN UPAH

Pada dasarnya dalam hukum Islam,
seorang yang mengajarkan al-Quran dan ilmu-ilmu yang bermanfaat berhak mendapatkan
upah atas jasanya itu. Bahkan mengajarkan Al-Quran secara syar`i bisa dijadikan
sebagai mas kawin(mahar) dalam pernikahan. Jadi seorang guru atau ustadz yang
telah berjuang di jalan Allah untuk mengajarkan ilmu-ilmu Islam, pada dasarnya
memang berhak untuk mendapatkan upah atas keringatnya itu.

Karena bila tidak, dari mana dia akan menghidupkan keluarganya yang
merupakan kewajibannya. Sedangkan kalau mereka semua berhenti mengajar
ilmu-ilmu Islam dan beralih profesi berdagang di pasar, maka siapa lagi yang
akan mengajarkan dan mempertahankan agama ini. Karena itu, mereka berhak
mendapatkan upah atas kerja mereka yang sangat berharga.
Masalahnya tinggal bagaimana teknisnya. Di negara-negara Islam,
profesi ustaz, pengajar, bahkan imam dan muazzin di masjid itu ditanggung
gajinya oleh negara. Dan negara mendapatkan dana itu dari Baitul Mal termasuk
dari uang zakat. Sehingga para khatib dan ustaz tidak langsung menerima upah
dari murid atau orang yang mereka layani, sehingga tidak terkesan menjual ilmu
dan doa.
Tapi di negeri non Islam, negara sama sekali tidak memikirkan hal
itu, sehingga umat sendirilah yang harus memikirkannya. Dan sayangnya lagi,
umat Islam di banyak tempat belum lagi memiliki Baitul Mal untuk menjamin
kelangsungan hidup para ustaz dan lainnya. Yang terjadi justru mereka
menyisihkan uang untuk dikumpulkan di kas masjid atau kas majelis taklim dan
sebagian diberikan kepada ustaz yang mengajar.
Kalau masjid atau majelis taklim itu dikelola oleh sebuah instansi
yang memiliki budget tersendiri yang memadai, bisa jadi ‘dana amplop’ untuk
para ustaz menjadi lumayan besar untuk ukuran umum. Namun terkadang fenomena
ini sering salah disikapi oleh mereka sendiri, karena tidak jarang ada sebagian
mereka yang mulai membuat ‘peta’ dan klasifikasi. Kalau ceramah di kantor anu,
maka amplopnya lebih tebal dari kalau ceramah di masjid kampung anu. Lalu
muncul istilah wilayah ‘basah’ dan wilayah ‘kering’.
Lucunya lagi, terkadang ada semacam pentarifan nilai amplop di
kalangan mereka. Kalau ustaz yang diundang itu lumayan ngetop, karena sering
muncul di TV misalnya, maka amplopnya harus lebih besar, tapi kalau ustaznya
‘anonmim’, tidak terkenal, maka amplopnya bisa jadi ala kadarnya.
Terkadang ukurannya bukan lagi level ilmu dan kemampuannya, tetapi
ngetop tidaknya sang ustaz. Dan bisa jadi ustaz itu malah dari kalangan mereka
yang dari segi ilmunya sangat sedikit, tapi orang-orang terkadang tidak peduli
dengan semua itu. Karena semangatnya mungkin bukan lagi menimba ilmu, tapi
semangat popularitas, gengsi dan sejenisnya.
Misalnya, kalau suatu masjid bisa mendatangkan ustaz ‘x’ yang sedang
ngetop, maka ‘gengsi’ pengurus majid itu akan naik. Walaupun untuk itu mereka
harus merelakan harga amplop yang jutaan rupiah.
Memang para ustaz itu umumnya tidak pasang tarif, tetapi ada juga
satu dua yang melakukan hal itu meski tidak secara langsung. Terutama yang
sudah go public tadi, mereka bahkan menggunakan semacam ‘manager’ bak para
artis mau diundang ke suatu pertunjukan. Nah, para ‘manager’ inilah yang menentukan
nilai itu meski pun juga tidak sevulgar para selebriti. Akhirnya jadilah
profesi ustaz ini layaknya para artis yang ‘pasang tarif’ untuk ceramahnya,
bermobil mewah, rumah megah, harta bertumpuk dan segenap kemewahan lainnya.
Tentu saja prilaku ini merupakan hak masing-masing orang, karena pada dasarnya
apa yang dimilikinya itu halal, karena bukan harta hasil curian. Semua itu
merupakan jerih payah mereka juga.
Kalaupun ada yang perlu dikritisi, barangkali semangat kebersamaan
dan kesederhanaan mereka, Karena mereka hidup di negeri yang mayoritas
penduduknya sangat miskin dan hampir mati kelaparan. Seyogyanya penampilan
mereka mencerminkan kesederhanaan dan keprihatinan juga. Karena harta yang
banyak dan berlimpah itu pastilah juga akan dimintai pertanggung-jawaban di
akhirat kelak.
Tapi perlu dipahami bahwa fenomena itu tentu saja tidak bisa
digeneralisir, bahwa setiap ustaz pasti berperilaku demikian. Masih banyak para
ustaz lain yang bersahaja, sederhana, rizqinya hanya ngepas buat makan saja,
kemana-mana naik bus kota, hujan kehujanan dan panas kepanasan. Padahal bisa
jadi ilmu yang mereka miliki jauh lebih tinggi dan lebih dalam dari pada ustaz
yang ber-BMW.
Tapi semua kita kembalikan saja kepada Allah. Dan buat para ustaz
yang sudah lumayan ‘gemuk’, mintalah fatwa kepada nurani anda sendiri. Karena
nurani anda itu jauh lebih jujur dan lebih bisa anda dengar ketimbang melalui
mulut orang lain.
Menjual ayat adalah bila seseorang menutup mata atas kemungkaran dan
keharamannya dari ayat-ayat Allah. Lalu mencari ayat yang tidak sesuai dengan
konteksnya. Sehingga dia memproduksi fatwa yang sebenarnya bertentangan dengan
kebenaran. Semua itu dilakukannya hanya karena mengharapkan keridhaan penguasa
atau orang yang bayar. Hal itu pernah terjadi pada para pendeta bani Israil, di
mana Allah mengutuk perbuatan seperti itu.
Dan janganlah kamu menjual
ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus
bertakwa
 (QS.
Al-Baqarah: 41).
Sesungguhnya Kami telah
menurunkan Kitab Taurat di dalamnya petunjuk dan cahaya, yang dengan Kitab itu
diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada
Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, takutlah
kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir
. (QS. Al-Maidah: 44).
Sedangkan orang yang waktunya habis untuk berjihad dan berdakwah
sementara tugas itu memang mutlak harus dikerjakan, maka orang itu berhak
mendapatkan dana zakat dari asnaf `fi sabilillah`. Menurut para fuqoha,
kelompok `fi sabililah` tidak berhenti pada mereka yang berperang di daerah
konflik saja, tapi mereka yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dengan
ikhlas, murni dan benar pun bisa dikategorikan berjuang fi sabilillah. Apalagi
di tempat di mana dakwah Islam masih sangat sedikit dan kurang, terutama di
negeri minoritas dan negeri yang Islam menjadi sangat asing bagi pemeluknya
sendiri.
Sudah bukan hal aneh saat ini jika seorang guru
ngaji, atau ustadz mendapatkan rejeki dengan cara berdakwah atau sebagai guru
ngaji dilingkungan sekitarnya. Dan banyak pula para dai yang menyandarkan
hidupnya dengan cara berdakwah semata, namun tentu masih banyak para dai
lainnya yang berbisnis dan berdagang, sebagai penopang untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.

Bahkan tak heran jika ada sebagian dari umat islam
saat ini yang bertanya-tanya:
“Wah pak ustadz dapet amplop!”, atau
“Ngaji al Quran digaji hukumnya gimana
ya?”
 atau mungkin 
“Ceramah kok dibayar?”
Lalu bagaimana Hukumnya menerima atau
mengambil upah atau gaji
 dari pekerjaan tersebut?
Menerima atau mengambil upah karena mengajar
Al-Qur`an atau dakwah, merupakan masalah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat boleh menerima upah atau
mengambil upah karena mengajarkan Al-Qur`an atau dakwah.
Sebagian Ulama yang lain berpendapat tidak boleh. Yang berpendapat seperti ini,
yaitu: Imam Az Zuhri, Abu Hanifah dan Ishaq bin Rahawaih. Yang berpendapat
boleh, mereka mengambil dalil hadits di atas yang diriwayatkan Imam Bukhari
dari sahabat Ibnu Abbas, juga beberapa hadits yang lain, seperti Nabi
menikahkan seorang sahabat dengan hafalan Qur’annya, dan ini haditsnya shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’ad.
Pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat ulama
ini, yaitu tentang bolehnya mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur`an dan
berdakwah.
Tetapi yang perlu diingat, bahwa setiap orang yang
menuntut ilmu, kemudian mengajarkan Al-Qur`an ataupun berdakwah, maka dia
harus melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan mengharapkan ganjaran
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak boleh ia mengharapkan sesuatu dari manusia
baik
 berbentuk
harta maupun yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا
مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ
عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَالَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut
semata-mata mencari wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun ternyata ia
menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan
mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat”.
[Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad,
II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini
dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi].
Komentar saya; ngajarnya gratis, bensin, transport dan
menyisihkan waktu sampai meninggalkan keluarga, itu yang seharusnya diberikan
penghargaan yang pantas.
Titip motor tidak tambah pinter saja bayar Rp.
1000,- meskipun cuma sepuluh menit. Lantas kenapa anaknya dititip ke orang,
plus tambah pinter mesti cari yang gratis?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اَحَقَّ مَا
أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ
“Sesungguhnya perkara yang paling berhak
kalian ambil upahnya adalah kitabullah”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah
dalam “Bab Upah Dalam Mengajarkan Al-Qur’an”, Imam Al-Hakim dalam bab
“Ijarah (Upah)”, Imam Ibnu Hibban dalam “Bab Bolehnya Mengambil
Upah Dalam Mengajar Al-Qur’an”, Imam Baihaqi dalam “Bab Rizki
Muadzin”. Wallohu a’lam. [Ahmed Widad dari voaislam]


Posted

in

,

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *