Surga itu mudah diraih
Jika
banyak orang berpendapat bahwa surga itu mahal harganya, mungkin orang tersebut
harus sering-sering belajar dan membaca buku. Tuhan berkehendak kebaikan kepada
semua makhluk dan tidak berharap keburukan menimpa makhluk-Nya. Oleh karena
itu, Tuhan selalu menyediakan kemudahan-kemudahan baginya. Namun, justru
manusialah yang sering memersulit diri sehingga ia hidup sengsara: jauh dari
Tuhannya dan jauh pula dari manusia di sekitarnya. Maka, tak salah jika kita
belajar dari kisah kehidupan sahabat ini. Suatu hari, para sahabat Nabi
Muhammad SAW sedang duduk di serambi masjid. Memang kebiasaan para sahabat itu
berdiskusi usai berdzikir. Mereka memerbincangkan ketauhidan dan kemashlahatan
umat. Dan tentu saja Nabi Muhammad senang melihat kebiasaan mereka itu. Nabi
pun turut serta berdiskusi dan menjadi narasumber. Tiba-tiba, Nabi Muhammad SAW
berkata, “Sebentar lagi akan ada seorang ahli surga yang mengenakan sandal
jepit lewat di depan kita.” Sontak semua sahabat kaget dan tertegun. Siapakah
orang yang dimaksud nabinya? Mereka pun saling berpandangan dan menduga-duga
keberadaan orang yang sangat mulia itu. Di tengah kegalauan itu, tiba-tiba
muncullah seorang laki-laki berjalan di depan mereka dengan mengenakan sandal
jepit yang nyaris tak dapat digunakan. Lalu, para sahabat pun berpikir, “Tak
mungkin orang ini yang dimaksud Rasulullah SAW tadi.” Lalu, mereka pun
meneruskan menunggu kedatangan orang yang dimaksud Nabi Muhammad SAW. Siapakah
gerangan lelaki yang dimaksud Nabi Muhammad itu SAW? Di tengah kegalauan
mereka, tiba-tiba seorang lelaki berjalan di depan mereka. Lelaki itu tak lain
adalah lelaki yang melintas di depan mereka tadi.
banyak orang berpendapat bahwa surga itu mahal harganya, mungkin orang tersebut
harus sering-sering belajar dan membaca buku. Tuhan berkehendak kebaikan kepada
semua makhluk dan tidak berharap keburukan menimpa makhluk-Nya. Oleh karena
itu, Tuhan selalu menyediakan kemudahan-kemudahan baginya. Namun, justru
manusialah yang sering memersulit diri sehingga ia hidup sengsara: jauh dari
Tuhannya dan jauh pula dari manusia di sekitarnya. Maka, tak salah jika kita
belajar dari kisah kehidupan sahabat ini. Suatu hari, para sahabat Nabi
Muhammad SAW sedang duduk di serambi masjid. Memang kebiasaan para sahabat itu
berdiskusi usai berdzikir. Mereka memerbincangkan ketauhidan dan kemashlahatan
umat. Dan tentu saja Nabi Muhammad senang melihat kebiasaan mereka itu. Nabi
pun turut serta berdiskusi dan menjadi narasumber. Tiba-tiba, Nabi Muhammad SAW
berkata, “Sebentar lagi akan ada seorang ahli surga yang mengenakan sandal
jepit lewat di depan kita.” Sontak semua sahabat kaget dan tertegun. Siapakah
orang yang dimaksud nabinya? Mereka pun saling berpandangan dan menduga-duga
keberadaan orang yang sangat mulia itu. Di tengah kegalauan itu, tiba-tiba
muncullah seorang laki-laki berjalan di depan mereka dengan mengenakan sandal
jepit yang nyaris tak dapat digunakan. Lalu, para sahabat pun berpikir, “Tak
mungkin orang ini yang dimaksud Rasulullah SAW tadi.” Lalu, mereka pun
meneruskan menunggu kedatangan orang yang dimaksud Nabi Muhammad SAW. Siapakah
gerangan lelaki yang dimaksud Nabi Muhammad itu SAW? Di tengah kegalauan
mereka, tiba-tiba seorang lelaki berjalan di depan mereka. Lelaki itu tak lain
adalah lelaki yang melintas di depan mereka tadi.
sendal jepit yang rusak
Lelaki itu masih terlihat mengenakan sandal
jepit yang rusak itu. Lagi-lagi, para sahabat berpikir, “Tak mungkin orang ini
yang dimaksud Rasulullah SAW” Lalu, mereka pun meneruskan menunggu kedatangan
orang yang dimaksud Nabi Muhammad. Siapakah gerangan lelaki yang dimaksud Nabi
Muhammad SAW itu? Sekali lagi, para sahabat kurang yakin dengan semua yang dilihatnya.
Maka, mereka – para sahabat – masih berusaha menunggu kedatangan lelaki lain
seperti dimaksud Rasululullah SAW. Tak lama kemudian, lelaki tadi pun berjalan
melintas di depan para sahabat. Maka, mereka pun baru yakin bahwa lelaki itu
pastilah yang dimaksud Rasululllah SAW. Setelah yakin dengan semua yang
dialaminya, mereka pun berusaha mengorek lelaki asing tersebut. Siapakah lelaki
ini? Di manakah dia tinggal? Apa saja keistimewaannya sehingga Rasulullah SAW
menyebutnya sebagai ahli surga? Dan para sahabat itu berusaha menguntit lelaki
itu untuk mengetahui domisilinya. Tampaklah lelaki itu memasuki sebuah rumah.
Terlihat rumah itu biasa-biasa saja alias memiliki kesamaan dengan rumah-rumah
di sekitarnya. Tak ada yang istimewa dengan rumah itu. Ketika lelaki itu sudah
masuk ke rumahnya, para sahabat pun berusaha mengikutinya. Lalu, masuklah
mereka ke rumah lelaki itu. “Assalaamu’alaikum” ucap sahabat di depan pintu.
Lelaki pemilik rumah itu langsung menjawab salam para sahabat dan menemuinya
dengan ramah. Lalu, para sahabat pun bercerita tentang ucapan Nabi Muhammad SAW
tadi. Tentunya para sahabat ingin menjadi ahli surga seperti lelaki itu. Agar
dapat mengetahui kebiasaan-kebiasaan harian yang dilakukan lelaki itu, mereka –
para sahabat itu – ingin tinggal selama tiga hari di rumah lelaki itu. Dan
lelaki pemilik rumah itu mengizinkannya. Hari pertama para sahabat tinggal di
rumah lelaki itu, tak ada satu pun kebiasaan istimewa yang dilakukan lelaki
itu. Sholat, mengaji, dzikir, sedekah, dan semua kebiasaan harian dilakukan
biasa-biasa saja. Sholat pun dilakukan di masjid seperti umumnya. Mengaji juga
dilakukan hanya beberapa waktu. Dzikir juga dilakukan usai sholat fardlu.
Sedekah dilakukan jika memiliki cukup harga. Tidak ada satu pun kebiasaan istimewa
yang terlihat. Semua yang dilihat dan diperhatikan hari pertama terjadi lagi
pada hari kedua dan ketiga. Tidak ada satu pun kegiatan istimewa yang dilakukan
lelaki itu. Semua berjalan biasa-biasa saja. Lalu, mengapa Rasulullah SAW
mengatakan bahwa lelaki itu menjadi ahli surga? Apa yang menjadikannya sehingga
menjadi lelaki yang begitu istimewa hingga seorang Muhammad SAW berani menjamin
surga baginya? Karena sudah tiga hari tinggal bersama dengan lelaki itu, para
sahabat pun berusaha menggali informasi. Ketika kesempatan itu datang, para
sahabat pun berkata kepada lelaki itu, “Wahai si Fulan, selama tiga hari kami
sudah tinggal bersama Anda. Namun, kami tidak menemukan satu pun keistimewaan
pada diri Anda. Lalu, mengapa sehingga Rasulullah SAW menyebutmu sebagai ahli
surga?” Mendengar pertanyaan para sahabat, lelaki itu pun menjawab bahwa
dirinya dijamin menjadi ahli surga karena ikhlas menerima keadaan dan tidak
memiliki sifat iri, apalagi dengki, sama sekali. “Meskipun kehidupan keluarga
kami seperti ini, kami menerima keadaan ini sebagai anugerah kami. Meskipun
tetangga kami berkehidupan lebih baik daripada kami, itu sudah menjadi
rezekinya. Dan kami menjauhi sifat iri kepadanya, apalagi dengki!” Sungguh
kisah di atas mengandung pelajaran yang teramat berharga. Kadang, bahkan
sering, kita memunculkan sifat iri itu. Kita sering memelihara sifat itu ketika
teman kita mendapatkan rezeki, mendapatkan promosi jabatan, atau kenaikan gaji.
Kadang, bahkan sering, kita memelihara sifat dengki seraya kita berdoa untuk
keburukan agar ditimpakan kepada orang lain yang mendapatkan rezeki. Alangkah
nistanya sifat itu jika kita masih memeliharanya. Lalu, mengapa kita tidak
meniru sifat mulia seperti si Fulan di atas agar menjadi ahli surga?
jepit yang rusak itu. Lagi-lagi, para sahabat berpikir, “Tak mungkin orang ini
yang dimaksud Rasulullah SAW” Lalu, mereka pun meneruskan menunggu kedatangan
orang yang dimaksud Nabi Muhammad. Siapakah gerangan lelaki yang dimaksud Nabi
Muhammad SAW itu? Sekali lagi, para sahabat kurang yakin dengan semua yang dilihatnya.
Maka, mereka – para sahabat – masih berusaha menunggu kedatangan lelaki lain
seperti dimaksud Rasululullah SAW. Tak lama kemudian, lelaki tadi pun berjalan
melintas di depan para sahabat. Maka, mereka pun baru yakin bahwa lelaki itu
pastilah yang dimaksud Rasululllah SAW. Setelah yakin dengan semua yang
dialaminya, mereka pun berusaha mengorek lelaki asing tersebut. Siapakah lelaki
ini? Di manakah dia tinggal? Apa saja keistimewaannya sehingga Rasulullah SAW
menyebutnya sebagai ahli surga? Dan para sahabat itu berusaha menguntit lelaki
itu untuk mengetahui domisilinya. Tampaklah lelaki itu memasuki sebuah rumah.
Terlihat rumah itu biasa-biasa saja alias memiliki kesamaan dengan rumah-rumah
di sekitarnya. Tak ada yang istimewa dengan rumah itu. Ketika lelaki itu sudah
masuk ke rumahnya, para sahabat pun berusaha mengikutinya. Lalu, masuklah
mereka ke rumah lelaki itu. “Assalaamu’alaikum” ucap sahabat di depan pintu.
Lelaki pemilik rumah itu langsung menjawab salam para sahabat dan menemuinya
dengan ramah. Lalu, para sahabat pun bercerita tentang ucapan Nabi Muhammad SAW
tadi. Tentunya para sahabat ingin menjadi ahli surga seperti lelaki itu. Agar
dapat mengetahui kebiasaan-kebiasaan harian yang dilakukan lelaki itu, mereka –
para sahabat itu – ingin tinggal selama tiga hari di rumah lelaki itu. Dan
lelaki pemilik rumah itu mengizinkannya. Hari pertama para sahabat tinggal di
rumah lelaki itu, tak ada satu pun kebiasaan istimewa yang dilakukan lelaki
itu. Sholat, mengaji, dzikir, sedekah, dan semua kebiasaan harian dilakukan
biasa-biasa saja. Sholat pun dilakukan di masjid seperti umumnya. Mengaji juga
dilakukan hanya beberapa waktu. Dzikir juga dilakukan usai sholat fardlu.
Sedekah dilakukan jika memiliki cukup harga. Tidak ada satu pun kebiasaan istimewa
yang terlihat. Semua yang dilihat dan diperhatikan hari pertama terjadi lagi
pada hari kedua dan ketiga. Tidak ada satu pun kegiatan istimewa yang dilakukan
lelaki itu. Semua berjalan biasa-biasa saja. Lalu, mengapa Rasulullah SAW
mengatakan bahwa lelaki itu menjadi ahli surga? Apa yang menjadikannya sehingga
menjadi lelaki yang begitu istimewa hingga seorang Muhammad SAW berani menjamin
surga baginya? Karena sudah tiga hari tinggal bersama dengan lelaki itu, para
sahabat pun berusaha menggali informasi. Ketika kesempatan itu datang, para
sahabat pun berkata kepada lelaki itu, “Wahai si Fulan, selama tiga hari kami
sudah tinggal bersama Anda. Namun, kami tidak menemukan satu pun keistimewaan
pada diri Anda. Lalu, mengapa sehingga Rasulullah SAW menyebutmu sebagai ahli
surga?” Mendengar pertanyaan para sahabat, lelaki itu pun menjawab bahwa
dirinya dijamin menjadi ahli surga karena ikhlas menerima keadaan dan tidak
memiliki sifat iri, apalagi dengki, sama sekali. “Meskipun kehidupan keluarga
kami seperti ini, kami menerima keadaan ini sebagai anugerah kami. Meskipun
tetangga kami berkehidupan lebih baik daripada kami, itu sudah menjadi
rezekinya. Dan kami menjauhi sifat iri kepadanya, apalagi dengki!” Sungguh
kisah di atas mengandung pelajaran yang teramat berharga. Kadang, bahkan
sering, kita memunculkan sifat iri itu. Kita sering memelihara sifat itu ketika
teman kita mendapatkan rezeki, mendapatkan promosi jabatan, atau kenaikan gaji.
Kadang, bahkan sering, kita memelihara sifat dengki seraya kita berdoa untuk
keburukan agar ditimpakan kepada orang lain yang mendapatkan rezeki. Alangkah
nistanya sifat itu jika kita masih memeliharanya. Lalu, mengapa kita tidak
meniru sifat mulia seperti si Fulan di atas agar menjadi ahli surga?
dikutip dari kompasiana.com
Leave a Reply