Umeir bin Sa’d RA adalah putra dari salah seorang sahabat Ahlu Badar, yang juga mengikuti berbagai pertempuran lainnya bersama Nabi SAW, Sa’d al Qary RA. Ayahnya itu membawanya serta menghadap Rasulullah SAW ketika akan berba’iat memeluk Islam. Sejak keislamannya tersebut, ia hampir tidak pernah berpisah dari mihrab Masjid Nabi SAW. Segala kepuasan yang diperolehnya dengan kemewahan hidupnya selama ini, digantikan dengan kepuasan mengejar shaf pertama, baik dalam shalat di masjid ataupun dalam barisan pasukan membela panji-panji Islam, karena ia sangat mendambakan untuk memperoleh syahid.
Suatu ketika ia mendengar salah seorang kerabatnya yang telah memeluk Islam, Jullas bin Suwaid bin Shamit, ketika berbincang-bincang dengan seseorang di rumahnya, berkata, “Seandainya laki-laki itu (yang dimaksudkan adalah Nabi SAW) memang benar, tentulah kita ini lebih jelek dari keledai…!”
Jullas memang memeluk Islam karena ikut-ikutan saja, tidak karena kesadarannya sendiri. Saat itu sebagian besar dari anggota kabilahnya telah berba’iat memeluk Islam, karena merasa tersendiri dan terkucil di antara kerabat-kerabatnya ia pun akhirnya ikut-ikutan memeluk Islam.
Apa yang dikatakan Jullas tersebut, bagi Umeir sangatlah merendahkan dan menghinakanNabi SAW. Sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi SAW, Umeir berkata, “Demi Allah, wahaiJullas, engkau adalah orang yang paling kucintai, orang yang paling banyak berjasa kepadaku, dan orang yang paling kuharapkan tidak akan tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan…! Tetapi baru saja engkau melontarkan suatu perkataan, yang jika tersebar dan itu diketahui berasal darimu, engkau pasti akan ditimpa sesuatu yang menyakitkan dirimu…!! Tetapi andaikata kubiarkan kata-katamu itu tanpa pembelaan, akan rusaklah agamaku, padahal hak agama itu lebih utama untuk ditunaikan. Karena itu, hendaklah engkau bertobat sebelum aku akan menyampaikan hal ini kepada Rasulullah SAW…!!”
Tetapi ternyata Jullas bersikap sombong dan menolak saran Umeir, bahkan sedikitpun tidak ada penyesalan atas apa yang telah diucapkannya. Akhirnya Umeirpun berkata kepada Jullas, “Aku akan melaporkannya kepada Nabi SAW, sebelum Allah menurunkan wahyu yang melibatkan aku dengan dosamu tersebut….”
Mendapat laporan Umeir tersebut, Nabi SAW memanggil Jullas untuk mengkonfirmasi kebenarannya. Tetapi Jullas mengingkari apa yang dilaporkan Umeir, bahkan ia berani bersumpah atas nama Allah bahwa ia tidak mengucapkan perkataan tersebut. Menurut sebagian riwayat, peristiwa ini menjadi asbabun nuzul turunnya surah at Taubah ayat 74, yang mendustakan sumpah Jullas dan membenarkan Umeir. Jullas dipanggil lagi dan akhirnya ia mengakui kesalahannya, kemudian dengan kesadaran penuh ia bertobat dan terus memperbaiki keislamannya.
Nabi SAW memegang telinga Umeir sambil bersabda, “Wahai anak muda, sungguh nyaring (peka) telingamu, dan Tuhanmu membenarkan tindakanmu…!”
Berlalulah waktu, ia tumbuh dan dewasa dengan bimbingan dan dalam teladan Nabi SAW. Gaya hidup sederhana, tidak tertarik duniawiah dan jabatan, dan merasa cukup dengan sedikit yang dimiliki, dan berbagai macam akhlak mulia yang dicontohnya dari Rasulullah SAW.
Sampailah Umeir kepada masa khalifah Umar, dan ia menjadi “sasaran empuk” bagi Umaruntuk diangkat menjadi pejabat yang mewakili dirinya di daerah-daerah yang jauh, suatu pribadi yang tak jauh berbeda dengan diri Umar sendiri. Mendapat tawaran untuk menjadi gubernur atau wali negeri di Homs, Umeir bin Sa’d berkeras menolaknya. Tetapi seperti biasa dalam menghadapi penolakan jabatan yang diberikannya, Umar akan berkata seperti ini, atau semisal ini, “Apakah kalian telah memba’iat dan meletakkan amanat ini di pundakku, kemudian kalian membiarkan aku memikulnya seorang diri?? Tidak, demi Allah aku tidak akan melepaskan kalian….!”
Tidak ada pilihan lain bagi Umeir bin Sa’d kecuali menjalaninya. Setelah melakukan shalat istikharah, ia berangkat ke Homs dan melakukan tugasnya di sana. Setahun sudah berlalu, tak ada berita apapun yang sampai di Madinah tentang pelaksanaan tugasnya, tak ada jizyahdan zakat dari Homs untuk menambah isi baitul mal di Madinah. Bahkan tak ada satu pucuk suratpun yang dikirimkan Umeir kepada khalifah di Madinah. Umar tidak habis pikir, ada apa gerangan dengan Umeir? Sepertinya ia hilang ditelan bumi? Karena itu Umarmemerintahkan untuk membuat surat panggilan kepada Umeir agar menghadap khalifah diMadinah.
Beberapa hari berlalu, tampak seseorang masuk kekota Madinah. Seorang pejalan kaki sendirian, rambut kusut dan tubuh berdebu. Tampak sekali kelelahan dan kepayahannya karena menempuh perjalanan jauh, seakan tenaganya hanya tinggal sisa-sisa saja. Di pundak kanannya tergantung buntil kulit dan sebuah piring, dan di pundak kirinya tergantung kendi berisi air. Langkahnya berat sambil ditopang sebuah tongkat.
Tubuh kurus dan kumuh ini memasuki majelis khalifah Umar dan menyampaikan salam.Umar segera menyambut salamnya dan berpaling kepada musafir pendatang ini. Tampak sekali kesedihan Umar melihat keadaan tamunya tersebut, ia berkata, “Apa kabar wahai,Umeir..??”
Memang, lelaki yang tampak tak berdaya dalam kelelahannya ini adalah Umeir bin Sa’d, wali negeri Homs, suatu negeri yang kaya dan sedang berkembang pesat di wilayah Syam. Umeirberkata, “Alhamdulillah, wahai Amirul mukminin. Seperti yang engkau lihat, badanku sehat, darahku bersih, dan dunia di tanganku dapat kukendalikan sekehendak hatiku….!”
“Apa yang engkau bawa itu?” Tanya Umar.
“Ini adalah buntil kulit tempat menyimpan bekal, piring untuk makan, dan kendi air untuk minum dan wudhu’. Dan tongkat ini untuk bertelekan saat berjalan dan untuk mengusir musuh atau gangguan yang menghadang jalanku. Sungguh, dunia ini tidak lain hanyalah pengikut bagi bekal kehidupanku kelak….!”
“Apakah anda datang dengan berjalan kaki ?” Tanya Umar lagi.
“Benar.” Kata Umeir.
“Apa tidak ada orang yang mau memberikan tunggangannya kepadamu untuk kamu naiki?”
“Tidak ada orang yang menawarkannya, dan akupun tidak ingin, dan juga tidak pernah memintanya…!”
Umar tercenung seakan tidak percaya. Kalaulah tahu bahwa ia seorang wali negeri atau gubernur, tentulah banyak sekali orang yang akan memberikan tunggangannya, bahkan kalau perlu melakukan pengawalan dan pelayanan agar perjalanannya terasa nyaman senyaman-nyamannya. Tetapi, kalau penampilannya memang seperti itu, bagaimana mereka tahu kalau Umeir ini adalah seorang wali negeri, negeri Homs di Syam pula.
Umar bertanya lagi, “Apa yang telah kamu lakukan dengan tugas yang telah kami berikan kepadamu?”
Umeir menjelaskan, “Aku telah mendatangi negeri yang engkau titahkan itu. Aku kumpulkan orang-orang yang saleh di antara penduduknya. Sebagian kuangkat dan kutugaskan untuk mengumpulkan jizyah dan zakat, sebagian lainnya lagi kuangkat dan kutugaskan untuk membagikan kepada yang tak mampu, serta dibelanjakan di tempat yang wajar untuk kepentingan mereka bersama. Jika saja masih ada sisanya, tentulah sudah kukirimkan ke sini…!”
“Kalau begitu engkau tidak membawa apa-apa untuk kami?”
“Tidak ada,” Kata Umeir bin Sa’d.
Umar dengan bangga memuji hasil kerja Umeir, bahkan ia tetap mengangkatnya sebagai gubernur/wali negeri di sana. Tetapi kali ini Umeir bersungguh-sungguh menolaknya, bahkan tegas sekali ia mengatakan, “Masa seperti itu telah berlalu, aku tidak hendak menjadi pegawai anda lagi selama-lamanya, dan tidak juga pegawai pengganti anda selama-lamanya….”
Umar tidak memaksanya lagi. Ia telah melihat dengan kepalanya sendiri, bagaimana beban tugas itu justru bisa membahayakan jiwanya, perjalanan kaki ratusan kilometer di padang pasir, sendirian dengan bekal seadanya. Hanya saja Umar sering berkata, “Aku ingin sekali mempunyai beberapa orang seperti Umeir, untuk membantuku melayani kepentingan kaum muslimin….”
Leave a Reply