IslamicTunesNews | ALASAN MUHAMMAD ALI MEMELUK ISLAM

Cerita dan Alasan Muhammad Ali Masuk Islam  

“Ibuku seorang Baptis, dan ketika saya besar, ia mengajari
segala yang ia ketahui tentang Tuhan. Setiap Minggu, ia mendandani saya, dan
membawa saya dan abang saya ke gereja. Ia mengajari kami hal-hal yang
dianggapnya benar. Ia mengajari kami supaya mencintai sesama dan memperlakukan
siapa pun dengan baik. Ia mengajari kami bahwa berprasangka dan membenci itu
salah. Ketika saya beralih agama, Tuhan ibuku tetap Tuhan saya hanya
menyebutnya dengan nama yang lain. Dan pandangan tentang ibu saya tetap seperti
yang saya katakan jauh sebelumnya. Dia baik, gemuk, perempuan menawan yang suka
memasak, makan, menjahit, dan senang berada bersama keluarga. Ia tidak minum,
merokok, dan mencampuri urusan orang, atau menggangu siapa pun. Tak seorang pun
lebih baik kepadaku sepanjang hidupku, kecuali dia.”
***
karier Muhammad Ali
Sejak awal kariernya, Cassius Clay, yang kemudian mengubah namanya menjadi
Muhammad Ali itu, dianggap oleh banyak orang sebagai “pemuda kulit
berwarna yang baik”. Dan bila kemudian ia dikenal sebagai si “mulut
besar”, Clay mempunyai alasannya sendiri. “Di mana saya akan berada
minggu depan,” katanya suatu ketika pada wartawan, “jika saya tidak
tahu bagaimana caranya berteriak dan membuat publik menaruh perhatian pada
saya? Saya mungkin masih miskin, dan terpuruk di rumah, mengelap jendela atau
tangga berjalan dan sebentar-sebentar berkata, yes suh, no suh — yes sir, no
sir. Tapi kini saya menjadi salah satu atlet dengan bayaran tertinggi di dunia.
Pikirkan itu. Pemuda kulit berwarna dari Selatan menghasilkan satu juta dolar.

Cassius Clay adalah seorang kulit berwarna yang membuat kulit putih Amerika
merasa nyaman. Sindikat yang mendukung petinju ini semua kulit putih. Kemudian,
untuk pertama kalinya, di markas Clay seorang kulit hitam “jenis
lain” muncul ke permukaan. Tanda-tanda munculnya “persoalan”
pertama kali terjadi pada September 1963. Yaitu ketika harian 
Philadelphia melaporkan
bahwa Clay menghadiri rapat akbar yang diselenggarakan oleh Black Muslims di
Philadelphia: 
“Clay tampak di tengah kerumunan sekitar lima ribu
orang yang tengah mendengarkan Elijah Muhammad, pemimpin Nation of Islam, yang
selama tiga jam memaki-maki ras putih dan memopulerkan pemimpin-pemimpin Negro.
Clay, yang datang ke situ dari Louisville, Kentucky, ada di antara mereka yang
mendukung Elijah Muhammad sebagai pemimpin muslim kulit hitam di negeri itu dan
di seluruh dunia yang berniat membentuk barisan tangguh untuk menentang kulit
putih. Meskipun Clay waktu itu mengaku bukan seorang muslim, ia mengatakan
Muhammad seorang yang hebat.”
 

Laporan Philadelphia meluas tanpa begitu menarik perhatian.
Ketika itu Clay belum menandatangani kontrak untuk bertarung dengan Sonny
Liston, dan Nation of Islam, nama asli Black Muslims, masih belum terkenal.
Kemudian, pada 21 Januari 1964, Clay meninggalkan kamp latihan dan pergi dari
Pantai Miami ke New York. Waktu itulah kontrak merebut kejuaraan
ditandatangani. 

Pertarungan sudah dekat, dan Clay kini bukan sekadar menghadiri rapat-rapat
kelompok muslim itu, tapi juga berpidato. Malcolm X mendampinginya. Sampai-sampai
surat kabar New York Herald Tribune menulis: “Petinju muda urakan yang
merayakan ulang tahun ke-22-nya pekan lalu barangkali bukan pembawa kartu
anggota masyarakat muslim. Namun, tak disangsikan, ia bersimpati pada tujuan
masyarakat muslim, dan dengan kehadirannya di pertemuan itu ia memberikan
gengsi pada kelompok itu. Dialah kulit hitam yang terkenal secara nasional
pertama yang mengambil bagian aktif dalam gerakan Islam. Namun, ia belum
mengumumkan secara resmi dukungannya pada kelompok Islam. Ia mungkin tidak akan
membicarakan topik itu secara terbuka. Ia berbicara tentang pukulan-pukulannya,
kecepatannya, penampilannya yang baik, tapi ia bungkam tentang gerakan
itu.” 

Cerita itu menghangat. Dua pekan kemudian, berkala Louisville
Courier-Journal
 melansir wawancara dengan Clay tentang kunjungannya ke
New York. “Tentu saja saya bicara dengan kelompok Islam,” katanya
mengaku. “Dan saya akan kembali lagi. Saya menyukai orang-orang Islam.
Saya tidak akan mati-matian memaksa diri saya masuk dalam suatu kelompok bila
mereka tidak menghendaki saya. Saya menyukai hidup saya. Integrasi itu salah.
Masyarakat kulit putih tidak menginginkan persatuan. Saya tidak percaya hal itu
bisa dipaksakan, demikian juga orang-orang Islam. Jadi, apa yang salah dengan
kelompok Islam?” 

Pada tanggal 7 Februari 1964, 18 hari sebelum pertarungannya dengan sang juara
kelas berat Sonny Liston, artikel di 
Miami Herald mengutip
ucapan ayah Clay, Cassius Clay Sr.: “Anak saya bergabung dengan Black
Muslims.” 

Dan inilah pengakuan Muhammad Ali sendiri: “Saya mendengar perihal
tentang Elijah Muhammad pertama kali di Turnamen Golden Gloves di Chicago
(1959). Kemudian, sebelum saya berangkat ke Olimpiade, saya melihat koran yang
diterbitkan oleh Nation of Islam, Muhammad Speaks. Saya tidak begitu memperhatikannya,
meskipun banyak hal mampir di benak saya. 


Ketika saya dewasa, pemuda kulit hitam bernama Emmett Till dibunuh di
Mississippi karena menyuiti seorang wanita kulit putih. Emmet seumur dengan
saya. Mereka menangkap para pembunuhnya, tapi tidak diapa-apakan. Kejadian
seperti ini berulang terus. Dan dalam hidupku, ada tempat-tempat di mana saya
tidak bisa masuk, tempat-tempat di mana saya tidak bisa makan. Saya memenangi
medali untuk Amerika Serikat di olimpiade, dan ketika saya pulang ke
Louisville, toh saya tetap diperlakukan sebagai Negro. Sejumlah restoran tak
mau melayani saya. Beberapa orang tetap memanggil saya boy. 

Kemudian di Miami (pada tahun 1961), ketika saya latihan, saya bertemu dengan
pengikut Elijah Muhammad bernama Kapten Sam. Ia mengundang saya ke pertemuan,
dan setelah itu hidup saya berubah. Selama tiga tahun, sampai saya bertarung
melawan Sonny Liston, saya sering menyelinap ke pertemuan Nation of Islam lewat
pintu belakang. Saya tak mau orang tahu bahwa saya di sana. Saya takut bila
mereka tahu. Bisa-bisa saya tak diizinkan bertarung untuk merebut gelar juara.
Belakangan saya belajar berani berdiri di atas keyakinan saya sendiri. 

Waktu itu keyakinan saya telah berubah. Saya tidak percaya pada Tuan Yakub dan
pesawat ruang angkasa lagi. Nurani dan jiwa tidak berwarna. Saya tahu itu juga.
Elijah Muhammad orang baik, meskipun ia bukan utusan Tuhan, kami anggap ia
seorang utusan. Jika kamu lihat persoalan kelompok kami saat itu, kebanyakan
dari kami tidak punya rasa percaya diri. Kami tidak punya bank dan toko. Kami
tidak punya apa-apa meski telah tinggal di Amerika ratusan tahun. Elijah
mencoba mengangkat kami dari got. 

Ia mengajari orang berpakaian yang pantas, hingga tidak kelihatan seperti
pelacur atau germo. Ia mengajari cara makan yang baik, dan bagaimana menjauhi
alkohol dan obat bius. Saya rasa ia salah ketika bicara tentang iblis putih,
tapi sebagian yang dilakukannya membuat kami merasa nyaman sebagai kulit hitam.
Jadi, saya tak menyesali yang saya yakini sekarang ini. Saya lebih bijaksana
kini, tapi juga banyak orang lain.” 


Selama tahun 1961, Kapten Sam Saxon menjadi pemain tetap di tempat latihan
Fifth Street. Ia tampak mendampingi Clay dalam perjalanan ke luar kota.
Kemudian, awal tahun 1962, Jeremiah Shabazz menyediakan koki muslim untuk
memastikan bahwa makanan si petinju sesuai dengan aturan makan Nation of Islam.
Di penghujung tahun itu, tanpa diketahui oleh pers, untuk pertama kalinya Clay
pergi dari Miami ke Detroit untuk mendengarkan pidato Elijah Muhammad dalam sebuah
pertemuan massa. Perjalanan itu bertambah penting karena di Detroit Clay
bertemu dengan Malcolm X. 

*** 

Sebelum 25 Februari 1964, tampaknya hampir segala yang dilakukan Cassius Clay
sesuai dengan konteks membangun nilai-nilai kulit putih. Ia bukan kulit putih,
tapi ia “yang terbaik setelah itu”. Tinggi, ganteng, jenaka, menarik:
seorang pemuda baik-baik yang punya ambisi kuat dalam hidupnya untuk menjadi
orang kaya dan juara tinju kelas berat dunia. Beberapa orang menduga jika Clay
melihat wajahnya sendiri di kaca ia akan bergumam “
I’m so pretty,”
seperti syair permulaan sebuah lagu yang temanya adalah “hitam itu
indah”. Memang, pada awal Maret 1963, majalah
Ebony menyatakan
bahwa “Cassius Marcellus Clay adalah sebuah ledakan kebanggaan rasial. Dia
adalah kebanggaan itu sendiri yang tak pernah mengenakan topeng kulit yang
diputihkan dan rambut palsu. Kebanggaan yang hangus oleh kenangan berjuta
anak-anak berwarna.” 

Namun, Ebony adalah majalah orang kulit hitam dengan pembaca
terbatas, dan pendapatnya segera tenggelam dari cakrawala Amerika. Bagi orang
Amerika kulit putih, Clay bagaikan mainan yang agaknya bisa diapkir segera
setelah nilai hiburannya memudar. Tapi kemudian persoalan mulai menjadi rumit.
Suatu pagi, setelah kemenangannya melawan Sonny Liston, juara baru itu muncul
di konperensi pers di pantai Miami.

Ya, ia gembira menjadi juara kelas berat. Tapi tidak, ia tidak terkejut muncul
sebagai pemenang. Ia mencundangi Liston semata karena ia petinju yang lebih
baik. Untuk pertama kali dalam sejarahnya sebagai petinju, suaranya melunak.
“Saya akan berterus terang,” katanya pada pendengarnya. “Yang
harus saya lakukan adalah menjadi seorang lelaki baik yang bersih.”
Kemudian muncul pertanyaan ini: “Apakah Anda pemegang kartu anggota Black
Muslims?” 

“Pemegang kartu? Apa maksudnya?” sahut Clay. “Saya percaya pada
Allah dan perdamaian. Saya tidak mencoba melangkah masuk ke rumah tetangga yang
kulit putih. Saya tidak ingin kawin dengan wanita kulit putih. Saya dibaptis
ketika berumur 12 tahun, tapi saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Saya bukan Kristen lagi. Saya tahu ke mana tujuan saya, dan saya tahu
kebenaran, dan saya tidak harus menjadi seperti yang kalian inginkan. Saya
bebas melakukan yang saya kehendaki.” 

Pernyataan tegas itu sempat membuat orang bungkam. Tapi tampaknya pernyataan
itu masih meragukan bagi sementara orang. Maka, pagi berikutnya, di pertemuan
pers kedua, Clay berpidato, berusaha menghilangkan keraguan itu: “Sebutan
Black Muslims itu datang dari pers. Itu bukan nama yang sah. Nama yang betul
adalah Islam. Islam artinya damai. Islam adalah agama, dan 750 juta orang
pemeluknya di seluruh dunia. Saya adalah salah satu di antara mereka. Saya
bukan seorang Kristen. Saya tidak bisa menjadi Kristen, jika melihat semua
orang kulit berwarna yang berjuang untuk menggalang persatuan akhirnya hancur
lebur. 

Mereka dilempari batu dan digigiti anjing. Gereja mereka diledakkan, dan
pelakunya tidak pernah ditemukan. Saya ditelepon setiap hari. Mereka
menginginkan saya memberi isyarat. Mereka menginginkan saya masuk ke garis
depan. Mereka mengatakan supaya saya mengawini perempuan kulit putih untuk
menggalang persaudaraan. Saya tak mau dihancurkan. Saya tak mau hanyut dalam
selokan kotor. 

Saya hanya ingin bahagia menurut cara saya sendiri. Orang mencap kami sebagai
kelompok yang dibenci. Mereka mengatakan kami mau mengambil alih negeri. Mereka
mengatakan kami komunis. Itu tidak betul. Pengikut-pengikut Allah adalah orang
terbaik di dunia. Mereka tidak membawa-bawa pisau. Mereka tidak memikul
senjata. Mereka salat lima kali sehari. Wanita-wanitanya berpakaian yang
menutup sampai menyapu lantai dan mereka tidak berzinah. Yang mereka inginkan
hanya hidup dalam damai.”


Posted

in

,

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *