IslamicTunesNews | APAKAH SUARA WANITA AURAT?

Pertanyaan yang membuat dilema munsyidah

Soal : Bolehkan akhwat menyanyi
pada waktu nampil di depan umum padahal di situ ada ikhwan. Apalagi nyanyinya
merdu. Suara wanita itu ‘kan aurat. (Najhwa syahrizal ;medan)
Jawab:

Ulama berbeda pendapat tentang hukum suara wanita. Sebagian ulama
ada yang menyatakan bahwa suara wanita adalah aurat. Namun, menurut pendapat
jumhur (mayoritas) ulama, suara wanita bukanlah aurat. Sehingga siapapun boleh
saja mendengar suara seorang wanita atau mendengarnya berbicara, karena
tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam. Ini adalah pendapat yang
paling kuat dalam masalah ini.
Syaikh
Wahbah Zuhaili
 Hafizhahullahberkata : Suara
wanita menurut jumhur (mayoritas
ulama) bukanlah aurat, karena para sahabat nabi mendengarkan suara para isteri
Nabi
 
Saw untuk mempelajari hukum-hukum
agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita  yang  disuarakan
dengan melagukan dan mengeraskannya, walaupun dalam membaca Al Quran, dengan
sebab khawatir timbul fitnah.
 
Dikatakan : Ada pun
jika suara wanita, maka jika si pendengarnya berlezat-lezat dengannya, atau
khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan mendengarkannya, jika
tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para sahabat
radhiyallahu’anhum mendengarkan suara wanita ketika
berbincang dengan mereka
 (dan itu tidak mengapa).

Dalil bahwa suara wanita bukan
aurat, adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil dari Al-Qur`an terdapat dalam
dalil-dalil umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai
aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan
aktivitas-aktivitas itu. Wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual
beli (QS 2: 275; QS 4:29), berhutang piutang (QS 2:282), sewa menyewa (ijarah)
(QS 2:233; QS 65:6), memberikan persaksian (QS 2:282), menggadaikan barang
(rahn) (QS 2:283), menyampaikan ceramah (QS 16:125; QS 41:33), meminta fatwa
(QS 16:43), dan sebagainya. Jika aktivitas-aktivitas ini dibolehkan bagi
wanita, artinya suara wanita bukanlah aurat sebab semua aktivitas itu adalah
aktivitas yang berupa perkataan-perkataan (tasharrufat qauliyah). Jika suara
wanita aurat, tentu syara’ akan mengharamkan wanita melakukannya (Muhammad
Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas, hal. 106).
Adapun dalil As-Sunnah, antara lain
bahwa Rasulullah SAW mengizinkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya (Shahih
Bukhari, hadits no. 949 & 952; Shahih Muslim, hadits no. 892). Pernah pula
Rasulullah SAW mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul
rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah (HR. Tirmidzi, dinilainya sahih.
Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, VII/119). Dalil As-Sunnah ini menunjukkan
suara wanita bukanlah aurat, sebab jika aurat tentu tidak akan dibiarkan oleh
Rasulullah (Abdurrahman Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 69-70).
Namun demikian, syara’ mengharamkan
wanita bersuara manja, merayu, mendesah, dan semisalnya, yang dapat menimbulkan
hasrat yang tidak-tidak dari kaum lelaki, misalnya keinginan berbuat zina,
berselingkuh, berbuat serong, dan sebagainya. Firman Allah SWT (artinya) :
“…maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang
yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS
Al-Ahzab [33] : 32).
Suara wanita yang seperti itulah
yang diharamkan, bukan suara wanitanya itu sendiri. Jadi, suara wanita itu
bukanlah aurat yang tidak boleh diperdengarkan.
Maka dari itu, boleh hukumnya
wanita bernyanyi dalam acara masirah tersebut, sebab suara wanita bukanlah
aurat. Namun dengan 2 (dua) syarat. Pertama, suara itu dalam batas kewajaran,
bukan sengaja dibikin mendesah-desah, mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya.
Kedua, perbuatan itu tidak disertai perbuatan-perbuatan haram dan maksiat,
seperti ikhtilath, membuka aurat, dan sebagainya. Wallahu a’lam

Posted

in

, ,

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *