IslamicTunesNews | HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN

Hubungan pemimpin dan kekuasaan

Hubungan pemimpin dan kekuasaan
adalah ibarat gula dengan manisnya, ibarat garam dengan asinnya. Dua-duanya tak
terpisahkan. Kepemimpinan yang efektif (effective leadership) terealisasi pada
saat seorang pemimpin dengan kekuasaannya mampu menggugah pengikutnya untuk
mencapai kinerja yang memuaskan. Ketika kekuasaan ternyata bisa timbul tidak
hanya dari satu sumber, kepemimpinan yang efektif bisa dianalogikan sebagai
movement untuk memanfaatkan genesis (asal usul) kekuasaan, dan menerapkannya
pada tempat yang tepat.
Refleksi dari kepemimpinan yang efektif, bertanggungjawab, dan
terbalutnya hubungan sinergis antara pemimpin dengan yang dipimpin, adalah
makna filosofis dari nasehat Rasulullah SAW: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan
setiap pemimpin bertanggungjawab terhadap pimpinannya, seorang Amir (kepala
negara) adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab terhadap rakyatnya ….” (HR
Bukhari & Muslim)
Genesis kekuasaan, atau dalam terminologi lain: “jenis-jenis
kekuasaan (types of power)” (Robbins-1991), atau “basis-basis kekuasaan sosial
(the bases of social power)” (French-1960), pada hakekatnya teridentifikasi
dari lima hal: legitimate power, coercive power, reward power, expert power,
dan referent power.
Legitimate Power (kekuasaan sah), yakni kekuasaan yang dimiliki
seorang pemimpin sebagai hasil dari posisinya dalam suatu organisasi atau
lembaga. Kekuasaan yang memberi otoritas atau wewenang (authority) kepada
seorang pemimpin untuk memberi perintah, yang harus didengar dan dipatuhi oleh
anak buahnya. Bisa berupa kekuasaan seorang jenderal terhadap para prajuritnya,
seorang kepala sekolah terhadap guru-guru yang dipimpinnya, ataupun seorang
pemimpin perusahaan terhadap karyawannya.



Coercive Power 
Coercive Power (kekuasaan paksa), yakni kekuasaan yang didasari
karena kemampuan seorang pemimpin untuk memberi hukuman dan melakukan
pengendalian. Yang dipimpin juga menyadari bahwa apabila dia tidak mematuhinya,
akan ada efek negatif yang bisa timbul. Pemimpin yang bijak adalah yang bisa
menggunakan kekuasaan ini dalam konotasi pendidikan dan arahan yang positif
kepada anak buah. Bukan hanya karena rasa senang-tidak senang, ataupun
faktor-faktor subyektif lainnya.
Reward Power (kekuasaan penghargaan), adalah kekuasaan untuk
memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang dipimpin. Tentu hal ini
bisa terlaksana dalam konteks bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan dan
sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti
arahan-arahannya. Penghargaan bisa berupa pemberian hak otonomi atas suatu
wilayah yang berprestasi, promosi jabatan, uang, pekerjaan yang lebih
menantang, dsb.
Expert Power (kekuasaan kepakaran), yakni kekuasaan yang
berdasarkan karena kepakaran dan kemampuan seseorang dalam suatu bidang
tertentu, sehingga menyebabkan sang bawahan patuh karena percaya bahwa pemimpin
mempunyai pengalaman, pengetahuan dan kemahiran konseptual dan teknikal.
Kekuasaan ini akan terus berjalan dalam kerangka sang pengikut memerlukan
kepakarannya, dan akan hilang apabila sudah tidak memerlukannya. Kekuasaan
kepakaran bisa terus eksis apabila ditunjang oleh referent power atau
legitimate power.
Referent Power (kekuasaan rujukan) adalah kekuasaan yang timbul
karena karisma, karakteristik individu, keteladanan atau kepribadian yang
menarik. Logika sederhana dari jenis kekuasaan ini adalah, apabila saya
mengagumi dan memuja anda, maka anda dapat berkuasa atas saya.
Seorang pemimpin yang memiliki jiwa leadership adalah pemimpin
yang dengan terampil mampu melakukan kombinasi dan improvisasi dalam
menggunakan genesis kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan
dalam berbagai situasi. Inilah yang disebut penulis dalam kalimat sebelumnya
sebagai kepemimpinan yang efektif (effective leadership), dimana
implementasinya adalah dengan “memanfaatkan genesis kekuasaan, dan menerapkannya
pada tempat yang tepat”.
Dan marilah kita saksikan bagaimana khalifah Abu Bakar Asshidiq,
menggunakan legitimate power yang dimilikinya untuk memerintahkan Usamah bin
Zaid meneruskan rencana memimpin pengiriman tentara ke Syria, di sisi lain
menggunakan referent power untuk meminta ijin Usamah bin Zaid agar meninggalkan
Umar Bin Khattab di Madinah. Dan dalam keadaan yang berbeda, beliau memakai
expert power ketika menolak permintaan Fathimah (putri Rasulullah) dengan
landasan hukum fiqih dan hadits shahih, berkenaan dengan masalah harta warisan
setelah Rasulullah SAW wafat.
Adalah Umar bin Abdul Aziz yang telah berhasil menggunakan
coercive powernya ketika menjabat sebagai gubernur wilayah Hejaz, untuk tidak
memperbolehkan Hajjaj bin Yusuf Atssaqafi (penguasa Iraq yang dhalim) melewati
kota Madinah. Meskipun secara kedudukan Hajjaj memiliki tempat istimewa di hati
penguasa Daulat Bani Umaiyah. Dan dengan kekuatan referent power dan reward
power yang dimilikinya, Umar bin Abdul Aziz telah berhasil menyatukan
kelompok-kelompok Qeisiyah, Yamaniah, Khawarij, Syiah, Mutazilah, yang secara
terus menerus bertikai pada masa itu. Juga berhasil mengumpulkan ulama-ulama
yang shaleh dan terkemuka yang sebelumnya telah mengasingkan diri, menjauhkan
diri dari kekuasaan karena kerusakan moral kekhalifahan Bani Umayah sebelumnya.
Para ulama justru mendatangi Umar bin Abdul Aziz, duduk bersama untuk
memecahkan masalah umat.
Merindukan pemimpin republik yang tidak hanya pandai menggunakan
coercive power dan legitimate power dalam memimpin republik. Tapi juga dengan
bijak dan cerdik menggunakan expert power, referent power, ataupun reward power
dalam mempersatukan seluruh anak negeri, dan mengangkat republik dari
keterpurukan.


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *