IslamicTunesNews | TANGIS PERPISAHAN PARA PENCINTA RAMADHAN

Malam
Terakhir Ramadhan

“Di malam terakhir Ramadhan,
menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena
akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”

Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit,
dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu Rasanya baru kemarin
kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan
tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah.
Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum
optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta
belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang
belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih
dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.

Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi
meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap
sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan
Ramadhan menghampiri diri mereka.

malam-malam
terakhir Ramadhan
Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati
mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir
Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang
yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis
terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.
Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja
dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir
Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para
malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini
merupakan musibah bagi umatku.”


Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya
Rasulullah?”
“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala
kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah
musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”

Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka
menetes. Hati mereka sedih.


Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah
itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa
dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan
pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan
yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan
dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di
sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan
ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya
sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat
dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima
dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka
tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz
berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah
berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama
tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada
Allah agar menerima amalan tersebut.”
Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini
adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram
durja? Ada apa gerangan?”

“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan
tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk
mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku
diterima atau tidak.”
Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah
SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung
Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan
yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan
siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”

Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin
Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita
beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya
untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau.
Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah
bagimu.”
Imam Mu’alla bin Al-Fadhl RA berkata, “Dahulu para ulama
senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan
Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal
ibadah mereka (selama Ramadhan).”

Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun
depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan
maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan
Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti
bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana
mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak
di antara kita dan mereka.

Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita
di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu
bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di
sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan
amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran,
disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.

Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang
berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk
besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.

Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri
dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan,
“Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan
sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).

pondokhabib.wordpress.com

Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *