Sang Alang, Soal RUU Permusikan dan Pendekatan Islam


Merunut sejarah, notasi musik ditemukan oleh Abu Naṣr
Muḥammad ibn Muḥammad al Farabi (Al-Farabi), seorang Ilmuwan dan Filsuf Islam
yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Penemuan Al-Farabi itu diabadikannya pada
buku Al Musiqa Al Kabir (The Great Book of Music). Kepiawaian Al-Farabi dalam
memainkan alat musik mampu menidurkan orang-orang yang mendengarnya. Musik
mampu untuk mengendalikan emosi seseorang dan juga untuk terapi bagi jiwa
seseorang.

Dalam perkembangannya, hingga hari ini musik masih kontroversial
dalam dunia Islam. Meskipun belum ada hadis sahih yang cukup kuat untuk
melarangnya.

Zakir Naik pernah mengatakan, “Ada banyak
pendapat yang mengupas hukum tentang musik, apakah boleh atau tidak. Dalam
Al-Qur’an tidak ada ayat yang melarang musik secara tegas.”

Saat ini, Indonesia tengah dikisruhkan dengan
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disiapkan DPR untuk jadi Undang-Undang. RUU
permusikan ini menuai tanggapan dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari
kalangan musisi Tanahair.

Sang Alang, musisi Indonesia yang kerap
memperjuangkan kemaslahatan orang ramai menanggapi RUU Permusikan itu, ia
mengatakan, “RUU tersebut sama sekali tidak berpihak kepada musisi. Justru
membelenggu kebebasan berekspresi. Sebagai musisi saya sangat prihatin dan
bertanya-tanya, sebenarnya apa sih tujuan dibuatnya RUU Permusikan ini? Mau
melindungi kok malah membatasi. Apalagi ada ketentuan soal sertifikasi segala.”

Sang Alang juga mengatakan, “Jika mengikuti RUU
Permusikan berarti saya harus memiliki empat sertifikat; sertifikat sebagai pencipta
lagu, sebagai penyanyi, penata musik, dan juga sebagai distributor. Ini jelas
membingungkan.“

“Saya sudah menekuni dunia musik dari tahun 90-an,
siapa yang harus menguji dan memberikan sertifikat? Artinya, tentu harus ada
lembaga yang mengurusnya. Nah, pengujinya siapa? Siapa yang menentukan atau
menguji sang penguji?” kata Sang Alang, saat kami wawancarai, Selasa 5/2/2019
di Bekasi.

Kita bisa mengilhami, bahwa musik sejatinya tidaklah
akan membawa kita pada kemudaratan sejauh kita menggunakannya untuk syiar
pernikahan, syiar agama, dan untuk mengajak umat agar semakin mendekatkan diri
pada Allah. Yang berperan penting di sini tentulah bagaimana syair dari sebuah
lagu itu ditulis. Semestinya yang perlu diawasi tersebut adalah persyairan,
bukan permusikannya. Jika ini dikaitkan, tentu akan menghadirkan permasalahan
baru dan jadi meluas.

Berbicara tentang persyairan kita akan menyentuh
dunia sastra. Karena syair itu sendiri adalah karya sastra tertua di dunia.
Tujuan adanya sastra itu sendiri adalah untuk memperjuangkan kehidupan manusia.
Kata ‘sastra’ itu sendiri mengandung arti tulisan yang mengandung instruksi. Kekhawatiran
pemerintah pada perkembangan dunia musik bukanlah kegamangan baru. Karena pada
kitab suci umat muslim malah terdapat satu surah yang bernama ‘Asy-Syu’ara’
atau Penyair. Allah tidak mau para penyair menyesatkan umat manusia pada kemudaratan
dan kesyirikan.

Menyigi RUU Permusikan lebih merujuk pada
kepentingan manusia, demi eksistensi dan keuntungan sepihak. Jika bersandar
pada pikiran yang lebih bijak, tentu banyak hal yang harus dipertimbangkan
lagi, terkait para pegiat musik yang berpenghidupan dari hasil menekuni dunia musik.
Bukankah UUD 1945 juga melindungi hak-hak warga negaranya. Mengingat sudah adanya
peraturan yang sudah diberlakukan.

Untuk mensenyawakan Undang-Undang dengan tuntutan
jiwa seniman yang butuh kebebasan berekspresi, hanya akan bisa dibuhulkan jika
berpijak pada syariat Islam yang berdestinasi pada Ridha Allah. Apakah kita
harus sadis, ketika Allah SWT sangat maha pengasih dan maha penyayang.

(Ditulis oleh Muhammad Fadhli)


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *